Kab Bekasi
Kabupaten Bekasi
ᮊᮘ᮪. ᮘᮨᮊᮞᮤ |
|
![]() Peta lokasi Kabupaten Bekasi ᮊᮘ᮪. ᮘᮨᮊᮞᮤ Koordinat: 1060 48’ 28” Bujur Timur 1070 27’ 29” dan 6 0 10’ 6“ Lintang Selatan |
|
Tanggal
Peresmian
|
15
Agustus 1950
|
Pemerintahan
|
|
Luas
|
1.484,37
km2
|
Populasi
|
|
- Total
|
2.830.401
jiwa
|
- Kepadatan
|
1.906,8
jiwa/km2
|
Demografi
|
|
- Bahasa
|
|
Pembagian
administratif
|
|
23
|
|
Simbol
khas daerah
|
|
- Situs
web
|
|
Kabupaten
Bekasi (aksara Sunda: ᮊᮘ᮪. ᮘᮨᮊᮞᮤ, Latin: Kab. Bekasi)
adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Ibukotanya adalah Cikarang [1]. Kabupaten ini berada tepat di sebelah timur
Jakarta, berbatasan dengan Kota Bekasi dan Provinsi DKI Jakarta di barat, Laut Jawa di barat dan utara, Kabupaten Karawang di timur, serta Kabupaten Bogor di selatan. Kabupaten Bekasi terdiri atas 23
kecamatan, yang dibagi lagi atas sejumlah desa dan kelurahan.
Sejarah
Penelusuran
Poerbatjaraka (seorang ahli bahasa
Sansakerta dan bahasa Jawa Kuno), kata “Bekasi” secara filologis berasal dari
kata Candrabhaga; Candra berarti bulan (“sasi” dalam bahasa Jawa Kuno) dan
Bhaga berarti bagian. Jadi Candrabhaga berarti bagian dari bulan [1]. Pelafalan kata Candrabhaga kadang berubah
menjadi Sasibhaga atau Bhagasasi [1]. Dalam pengucapannya sering disingkat
Bhagasi, dan karena pengaruh bahasa Belanda sering ditulis Bacassie (di Stasiun
KA Lemahabang
pernah ditemukan plang nama Bacassie).[1] Kata Bacassie kemudian berubah menjadi
Bekasi sampai dengan sekarang.[1]
Candrabhaga
merupakan bagian dari Kerajaan Tarumanagara, yang berdiri sejak abad
ke 5 Masehi [1]. Ada 7 (tujuh) prasasti yang menyebutkan adanya kerajaan
Tarumanagara yang dipimpin oleh Maharaja Purnawarman, yakni Prasasti Tugu (Cilincing, Jakarta), Prasasti Ciaruteun, Prasasti Muara Cianten, Prasasti Kebon Kopi, Prasasti Jambu, Prasasti Pasir Awi (ke enam prasasti ini ada
di daerah Bogor), dan satu prasasti di daerah Bandung Selatan (Prasasti Cidangiang).[butuh
rujukan]
Diduga
bahwa Bekasi merupakan salah satu pusat Kerajaan Tarumanagara (Prasasti Tugu,
berbunyi : ..dahulu kali yang bernama Kali Candrabhaga digali oleh
Maharaja Yang Mulia Purnawarman, yang mengalir hingga ke laut, bahkan kali ini
mengalir disekeliling istana kerajaan. Kemudian, semasa 22 tahun dari tahta
raja yang mulia dan bijaksana beserta seluruh panji-panjinya menggali kali yang
indah dan berair jernih, “Gomati” namanya[butuh
rujukan]. Setelah sungai itu mengalir disekitar tanah kediaman
Yang Mulia Sang Purnawarman[butuh
rujukan]. Pekerjaan ini dimulai pada hari yang baik, yaitu pada
tanggal 8 paro petang bulan Phalguna dan diakhiri pada tanggal 13 paro terang
bulan Caitra.[butuh
rujukan] Jadi, selesai hanya 21 hari saja. Panjang hasil galian
kali itu mencapai 6.122 tumbak.[butuh
rujukan] Untuk itu, diadakan selamatan yang dipimpin oleh para
Brahmana dan Raja mendharmakan 1000 ekor sapi…).[butuh
rujukan] Tulisan dalam prasasti ini menggambarkan perintah Raja
Purnawarman untuk menggali kali Candrabhaga, yang bertujuan untuk mengairi
sawah dan menghindar dari bencana banjir yang kerap melanda wilayah Kerajaan
Tarumanagara.[butuh
rujukan]
Setelah
kerajaan Tarumanagara runtuh (abad 7), kerajaan yang memiliki pengaruh cukup
besar terhadap Bekasi adalah Kerajaan Padjadjaran, terlihat dari situs
sejarah Batu
Tulis
(di daerah Bogor). [1] Sutarga lebih jauh menjelaskan, bahwa Bekasi
merupakan bagian dari wilayah Kerajaan Padjadjaran dan merupakan salah satu
pelabuhan sungai yang ramai dikunjungi oleh para pedagang. [1] Bekasi menjadi kota yang sangat penting bagi
Padjadjaran, selanjutnya menjelaskan bahwa: “..Pakuan adalah ibukota Kerajaan
Padjadjaran yang baru.[butuh
rujukan] Proses perpindahan ini didasarkan atas pertimbangan
geopolitik dan strategi militer.[butuh
rujukan] Sebab, jalur sepanjang Pakuan banyak dilalui aliran
sungai besar yakni sungai Ciliwung dan Cisadane.[butuh
rujukan] Oleh sebab itu, kota-kota pelabuhan yang ramai ketika
itu akan mudah terkontrol dengan baik seperti Bekasi, Karawang, Kelapa,
Tanggerang dan Mahaten atau Banten Sorasoan…”[butuh
rujukan]
Demikianlah,
waktu berlalu, kerajaan-demi kerajaan tumbuh, berkembang, mengalami masa
kejayaan, runtuh, timbul kerajaan baru. [1] Kedudukan Bekasi tetap menempati posisi
strategis dan tercatat dalam sejarah masing-masing kerajaan (terakhir tercatat
dalam sejarah, kerajaan yang menguasai Bekasi adalah Kerajaan Sumedanglarang, yang menjadi bagian dari Kerajaan Mataram). [1] Bahkan bukti-bukti mengenai keberadaan
kerajaan ini sampai sekarang masih ada, misalnya : ditemukannya makam
Wangsawidjaja dan Ratu Mayangsari (batu nisan), makam Wijayakusumah serta sumur
mandinya yang terdapat di kampung Ciketing, Desa Mustika Jaya, Bantargebang.[butuh
rujukan] Dimana baik batu nisan maupun kondisi sumur serta
bebatuan sekitarnya, menunjukkan bahwa usianya parallel dengan masa Kerajaan
Sumedanglarang.[butuh
rujukan] Demikian pula penemuan rantai di Kobak Rante, Desa
Sukamakmur, Kecamatan Sukakarya (konon katanya, daerah Kobak Rante adalah
daerah pinggir sungai yang cukup besar, hingga mampu dilayari kapal. Jalur ini
sering digunakan patroli kapal dari Sumedanglarang.[butuh
rujukan]
Masa
Hindia Belanda
Pada
masa ini masuk ke dalam Regentschap Meester Cornelis, yang terbagi atas empat
district, yaitu Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi dan Cikarang. District
Bekasi, pada masa penjajahan Belanda dikenal sebagai wilayah pertanian yang
subur, yang terdiri atas tanah-tanah partikelir, system kepemilikan tanahnya
dikuasai oleh tuan-tuan tanah (kaum partikelir), yang terdiri dari pengusaha
Eropa dan para saudagar Cina. Diatas tanah partikelir ini ditempatkan Kepala
Desa atau Demang, yang diangkat oleh Residen dan digaji oleh tuan tanah. Demang
ini dibantu oleh seorang Juru Tulis, para Kepala Kampung, seorang amil, seorang
pencalang (pegawai politik desa), seorang kebayan (pesuruh desa), dan seorang
ulu-ulu (pengatur pengairan).
Untuk
mengawasi tanah, para tuan tanah mengangkat pegawai atau pembantu dekatnya,
disebut potia atau lands opziener. Potia biasanya keturunan Cina, yang diangkat
oleh tuan tanah. Tugas potia adalah mengawasi para pekerja, serta mewakili tuan
tanah apabila tidak ada ditempat. Disamping itu ada juga Mandor yang menguasai
suatu wilayah, disebut wilayah kemandoran. Dalam praktik sehari-hari, mandor
sangatlah berkuasa, seringkali tindakannya terhadap para penggarap melampaui
batas-batas kemanusiaan. Para penggarap adalah pemilik tanah sebelumnya, yang
tanahnya dijual pada tuan tanah. Orang yang diangkat mandor biasanya dari para
jagoan atau jawara yang ditakuti oleh para penduduk.
Distrik
Bekasi terkenal subur yang produktif, hasilnya lebih baik jika dibandingkan
dengan distrik-distrik lain di Batavia, distrik Bekasi rata-rata mencapai 30-40
pikul padi setiap bau, sedangkan distrik lain hanya mampu menghasilkan padi
15-30 pikul setiap bau’nya. Namun yang menikmati hasil kesuburan tanah Bekasi
adalah Sang tuan tanah, bukanlah rakyat Bekasi. Rakyat Bekasi tetap kekurangan,
dalam kondisi yang serba sulit, seringkali muncul tokoh pembela rakyat kecil,
semisal Entong Tolo, seorang kepala perambok yang selalu menggasak harta
orang-orang kaya, kemudian hasilnya dibagikan kepada rakyat kecil, karenanya
rakyat sangat menghormati dan melindungi keluarga Entong Tolo, Sang Maling
Budiman, Robin Hood’nya rakyat Bekasi. Di hampir semua wilayah Bekasi memiliki
cerita sejenis, dengan versi dan nama tokoh yang berbeda. Hal ini juga, yang
mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat Bekasi, terhadap sesuatu yang
berhubungan dengan ke’jawara’an.
Setelah
Entong Tolo ditangkap dan dibuang ke Manado, tahun 1913 di Bekasi muncul
organisasi Sarekat Islam (SI) yang banyak diminati masyarakat yang sebagian
besar petani. Berbeda dengan di daerah lain, kepengurusan SI Bekasi didominasi
oleh kalangan pedagang, petani, guru ngaji, bekas tuan tanah dan pejabat yang
dipecat oleh Pemerintah Hindia Belanda, serta para jagoan yang dikenal sebagai
rampok budiman. Karena jumlah yang cukup banyak, SI Bekasi kemudian menjadi
kekuatan yang dominan ketika berhadapan dengan para tuan tanah. Antara
1913-1922, SI Bekasi menjadi penggerak berbagai protes sebagai upaya
penentangan terhadap berbagai penindasan terhadap petani, misalnya pemogokkan
kerja paksa (rodi), protes petani di Setu (1913) sampai pemogokkan pembayaran
“cuka” (1918).
Masa
pendudukan Jepang
Kedatangan
Jepang di Indonesia bagi sebagian besar kalangan rakyat, memperkuat anggap
eksatologis ramalan Jayabaya (buku “Jangka Jayabaya”,
mengungkapkan :”…suatu ketika akan datang bangsa kulit kuning dari utara
yang akan mengusir bangsa kulit putih. Namun, ia hanya akan memerintah sebentar
yakni selama ‘seumur jagung’, sebagai Ratu Adil yang kelak akan melepaskan
Indonesia dari belenggu penjajahan…”
Pada
awalnya, penaklukan Jepang terhadap Belanda disambut dengan suka cita, yang dianggap
sebagai pembebas dari penderitaan. Rakyat Bekasi menyambut dengan kegembiraan,
dan semakin meluap ketika Jepang mengijinkan pengibaran Sang Merah Putih dan
dinyanyikannya lagu Indonesia Raya. Namun kegembiraan rakyat Bekasi hanya
sekejap, selang seminggu pemerintah Jepang mengeluarkan larangan pengibaran
Sang Merah Putih dan lagu Indonesia Raya. Sebagai gantinya Jepang memerintahkan
seluruh rakyat Bekasi mengibarkan bendera “Matahari Terbit” dan lagu
“Kimigayo”. Melalui pemaksaan ini, Jepang memulai babak baru penindasan, yang
semula dibanggakan sebagai “saudara tua”.
Kekejaman
tentara Jepang semakin kentara, ketika mengintruksikan agar seluruh rakyat
Bekasi berkumpul di depan kantor tangsi polisi, untuk menyaksikan hukuman
pancung terhadap penduduk Telukbuyung bernama Mahbub, yang ditangkap karena
diduga sebagai mata-mata Belanda dan menjual surat tugas perawatan kuda-kuda
militer Jepang. Hukum pancung ini sebagai shock theraphy agar menimbulkan efek
jera dan ketakutan bagi rakyat Bekasi. Bala tentara Jepang juga memberlakukan
ekonomi perang, padi dan ternak yang ada di Bekasi Gun dicatat, dihimpun dan
wajib diserahkan kepada penguasa militer Jepang. Bukan saja untuk keperluan
sehari-hari tapi juga untuk keperluan jangka panjang, dalam rangka menunjang
Perang Asia Timur Raya.
Akibatnya,
rakyat Bekasi mengalami kekurangan pangan, keadaan ini makin diperparah dengan
adanya “Romusha” (kerja rodi). Pemerintah militer Jepang juga melakukan
penetrasi kebudayaan dengan memaksa para pemuda Bekasi untuk belajar semangat
bushido (spirit of samurai), pendewaan Tenno Haika (kaisar Jepang). Para pemuda
dididik melalui kursus atau dengan melalui pembentukan Seinendan, Keibodan,
Heiho dan tentara Pembela Tanah Air (PETA), yang kemudian langsung ditempatkan
kedalam organisasi militer Jepang.
Selain
organisasi bentukan Jepang, pemuda Bekasi mengorganisasikan diri dalam
organisasi non formal yaitu Gerakan Pemuda Islam Bekasi (GPIB), yang didirikan
pada tahun 1943 atas inisiatif para pemuda Islam Bekasi yang setiap malam Jum’at
mengadakan pengajian di Mesjid Al –Muwahiddin, Bekasi, para anggotanya terdiri
atas pemuda santri, pemuda pendidikan umum dan pemuda “pasar” yang buta huruf.
Awalnya GPIB dipimpin oleh Nurdin, setelah ia meninggal 1944, digantikan oleh
Marzuki Urmaini. Hingga awal kemerdekaan BPIB memiliki anggota yang banyak,
markasnya di rumah Hasan Sjahroni, di daerah pasar Bekasi, banyak anggotanya
kemudian bergabung ke-BKR dan badan perjuangan yang dipimpin oleh KH Noer Alie.
GPIB banyak memiliki Cabang antara lain, GPIB Pusat Daerah Bekasi (Marzuki
Urmaini dan Muhayar), GPIB Daerah Ujung Malang (KH Noer Alie), GPIB Daerah
Tambun (Angkut Abu Gozali, GPIB Kranji (M. Husein Kamaly) dan GPIB Cakung
(Gusir) berdirinya kabupaten Bekasi. Berdasarkan aturan hukum pada saat itu dan
melihat kegigihan rakyat memperjuangkan aspirasinya untuk membentuk suatu
pemerintahan tersendiri, setingkat Kabupaten, mulailah para tokoh dan rakyat
Bekasi berjuang agar pembentukan tersebut dapat terealisasikan. Awal tahun
1950, para pemimpin rakyat diantaranya R. Soepardi, KH Noer Alie, Namin,
Aminudin dan Marzuki Urmaini membentuk “Panitia Amanat Rakyat Bekasi”, dan
mengadakan rapat raksasa di Alun-alun Bekasi (17 Januari1950), yang dihadiri
oleh ribuan rakyat yang datang dari pelbagai pelosok Bekasi, dihasilkan
beberapa tuntutan yang terhimpun dalam “Resolusi 17 Januari”, yang antara lain
menuntut agar nama Kabupaten Jatinegara diubah menjadi Kabupaten Bekasi,
tuntutan itu ditandatangani oleh Wedana Bekasi (A. Sirad) dan Asisten Wedana
Bekasi (R. Harun).
Usulan
tersebut akhirnya mendapat tanggapan dari Mohammad Hatta, dan menyetujui
penggantian nama “Kabupaten Jatinegara” menjadi “Kabupaten Bekasi”, persetujuan
ini semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 14 Tahun 1950 yang
ditetapkan tanggal 8 Agustus 1950 tentang Pembentukan Kabupaten-kabupaten di
lingkungan Provinsi Jawa Barat, serta memperhatikan Peraturan Pemerintah No. 32
Tahun 1950 tentang berlakunya undang-undang tersebut, maka Kabupaten Bekasi
secara resmi terbentuk pada tanggal 15 Agustus 1950, dan berhak mengatur rumah
tangganya sendiri, sebagaimana diatur oleh Undang-undang Pemerintah Daerah pada
saat itu, yaitu UU No.22 Tahun 1948. Selanjutnya, ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah Tingkat II Kabupaten Bekasi, bahwa tanggal 15 Agustus 1950 sebagai hari
jadi kabupaten.
Status
ini dikukuhkan dengan UU Nomor 14 Tahun 1950 mengenai pembentukan Kabupaten
Bekasi, dengan wilayah yang terdiri dari empat kewedanaan, 13 kecamatan dan 95
desa. Pada tahun 1960 kantor Kabupaten Bekasi berpindah dari Jatinegara ke kota
Bekasi (Jl. Ir. H Juanda), yang kemudian pada tahun 1982 gedung perkantoran
Pemda Kabupaten Bekasi kembali dipindahkan ke Jl. Ahmad Yani, Bekasi. Mulai
tahun 2004, Pemerintahan Kabupaten Bekasi dipindahkan ke Cikarang Pusat, Kota
Deltamas dengan tujuan untuk memeratakan pembangunan di daerah timur Bekasi.
Kependudukan
Jumlah
penduduk Kabupaten Bekasi pada tahun 2004 mencapai 1.950.209 jiwa. Bila dilihat
dari rasio penduduk berdasarkan kelamin adalah 1,04 banding 1,00, dimana jumlah
penduduk laki-laki sebanyak 996.150 jiwa dan perempuan 954.054 jiwa. Adapun
laju pertumbuhan penduduk hasil perhitungan sensus tahun 2000 sebesar
4,23 % terdiri dari migrasi 2,33 % dan alamiah 1,90%.[butuh
rujukan] Pada tahun 2005 jumlah penduduk Kabupaten Bekasi
bertambah menjadi 2.027.902 jiwa atau mengalami pertumbuhan sebesar 3,98% dari
tahun sebelumnya.Penduduk bekasi mayoritas merupakan pendatang sehingga tak
heran jika banyak budaya nya pn telah banyak berakulturasi.[butuh
rujukan]
Pada
tahun 2013, jumlah penduduk Kabupaten Bekasi mencapai 3.002.112 jiwa. Tahun
2014, jumlah penduduk Kabupaten Bekasi menjadi 3.112.698 jiwa atau naik 120.586
jiwa dari tahun 2013[2]. Penduduk berjenis kelamin laki-laki adalah
1.592.588 jiwa dan penduduk berjenis kelamin perempuan 1.530.110 jiwa pada
tahun 2014.Dengan luas wilayah 127.388 hektar, tingkat kepadatan penduduk
Kabupaten Bekasi mencapai 2.451 jiwa per km2. [2]
Kecamatan
dengan penduduk tertinggi ialah Tambun Selatan dengan jumlah penduduk
mencapai 486.041 jiwa atau 16 persen dari total penduduk Kabupaten Bekasi pada
tahun 2014. Kecamatan dengan penduduk terendah ialah Bojongmangu dengan jumlah penduduk
25.587 jiwa pada tahun 2014.[2]
Topografi
Sebagian
besar wilayah Bekasi adalah dataran rendah dengan bagian selatan yang
berbukit-bukit. Ketinggian lokasi antara 0 – 115 meter dan kemiringan 0 – 250
meter. Kabupaten Bekasi yang terletak di sebelah Utara Provinsi Jawa Barat
dengam mayoritas daerah merupakan dataran rendah, 72% wilayah Kabupaten Bekasi
berada pada ketinggian 0-25 meter di atas permukaan air laut. Berdasarkan
karakteristik topografinya, sebagian besar Kabupaten Bekasi masih memungkinkan
untuk dikembangkan untuk kegiatan budidaya,Terutama untuk budidaya ikan di
tambak ataupun untuk budidaya hewan domestik seperti ayam dan kambing.[butuh
rujukan]
Jenis
tanah di Kabupaten Bekasi diklasifikasikan dalam tujuh kelompok. Kelompok yang
paling layak untuk pengembangan pembangunan memiliki luas sekitar 16.682,25 Ha
(81,25%), yang terdiri dari jenis asosiasi podsolik kuning dan hidromorf
kelabu; komplek latosol merah kekuningan, latosol coklat, dan podsolik merah;
aluvial kelabu tua; asosiasi glei humus dan alluvial kelabu; dan asosiasi
latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit. Klasifikasi cukup layak
seluas 3.745,04 Ha (18,24%), terdiri dari jenis tanah asosiasi alluvial kelabu
dan alluvial coklat kekelabuan. Sisanya sekitar 104,71 Ha (0,51%) dari jenis
podsolik kuning merupakan areal yang kurang layak untuk pembangunan.[butuh
rujukan]
Ditinjau
dari tekstur tanahnya, sebagian besar wilayah ini memiliki tekstur tanah halus
sekitar 15.555,04 Ha (75,76%) dan bertekstur sedang sekitar 4.755,21 Ha
(23,16%) berada di sebelah utara dan sebelah selatan yakni, sedangkan sisanya
sekitar 221,75 Ha atau 1,08% bertekstur kasar berada di sebelah barat. Tingkat
kepekaan tanah terhadap erosi cukup baik/stabil. Tingkat kepekaan ini
diklasifikasikan tiga bagian yakni stabil (tidak peka), peka, dan sangat peka.
Sekitar 17.220,19 Ha (83,87%) dari luas lahan merupakan lahan stabil yang layak
untuk dikembangkan untuk berbagai macam kegiatan perkotaan. Seluas 3.127,02 Ha
(15,23%) dari lahanya memiliki kondisi peka dan masih cukup layak untuk
dibangun. Sedangkan di bagian selatan, lahnnya sangat peka terhadap erosi yakni
sekitar 184,79 Ha (0,9%), kurang layak untuk dikembangkan.[butuh
rujukan] Adanya beberapa sungai yang melewati wilayah Kabupaten
Bekasi merupakan potensi sebagai sumber air untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Di Kabupaten Bekasi terdapat enam belas aliran sungai besar dengan lebar
berkisar antara 3 sampai 80 meter, yaitu sebagai berikut Sungai Citarum, Sungai
Bekasi, Sungai Cikarang, Sungai Ciherang, Sungai Belencong, Sungai jambe,
Sungai Sadang, Sungai Cikedokan, Sungai Ulu, Sungai Cilemahabang, Sungai
Cibeet, Sungai Cipamingkis, Sungai Siluman, Sungai Serengseng, Sungai Sepak dan
Sungai Jaeran.[butuh
rujukan]
Selain
itu, terdapat 13 situ yang tersebar di beberapa kecamatan dengan luas total 3
Ha sampai 40 Ha, yaitu Situ Tegal Abidin, Bojongmangu, Bungur, Ceper,
Cipagadungan, Cipalahar, Ciantra, Taman, Burangkeng, Liang Maung, Cibeureum,
Cilengsir, dan Binong. Saat ini kebutuhan air di Kabupaten Bekasi dipenuhi dari
2 (dua) sumber, yaitu air tanah dan air permukaan. Air tanah dimanfaatkan untuk
pemukiman dan sebagian industri. Kondisi air tanah yang ada di wilayah
Kabupaten Bekasi sebagian besar merupakan air tanah dangkal yang berada pada
kedalaman 5 – 25 meter dari permukaan tanah, sedangkan air tanah dalam pada
umumnya didapat pada kedalaman antara 90 – 200 meter. Air permukaan, seperti
sungai, dimanfaatkan oleh PDAM untuk disalurkan kepada konsumennya, baik
permukiman maupun industri.[butuh
rujukan]
Pemerintahan
Kabupaten
Bekasi dipimpin oleh bupati Hj. Neneng Hasanah Yasin dan wakil bupati H. Rohim
Mintareja yang dicalonkan oleh fraksi Golkar, yang memerintah dari tahun 2012. Neneng Hasanah Yasin
adalah calon dari Partai Golkar dan H. Rohim Mintareja dari partai Demokrat. Neneng Hasanah Yasin
adalah anggota DPRD[3] jawa barat. Rohim Mintareja adalah anggota
DPRD Kab. Bekasi dari Dapil DPRD Kab. Bekasi 1 yang bertugas di Komisi C.
Pasangan ini cukup kuat di daerah Pebayuran, Tambun, Cibitung, Cikarang Barat,
Cibarusah, terkecuali di Cikarang Selatan yang mayoritas memilih pasangan Darip
Maulana dan Jejen Sayuti.
Perekonomian
Perekonomian
Kabupaten Bekasi ditopang oleh sektor pertanian, perdagangan dan perindustrian.
Banyak industri manufaktur yang terdapat di Bekasi, diantaranya kawasan
industri Jababeka, Greenland International
Industrial Center (GIIC), Kota Deltamas Kota Deltamas, EJIP, Delta
Silicon, MM2100, BIIE dan sebagainya.
Kawasan-kawasan industri tersebut kini digabung menjadi sebuah Zona Ekonomi Internasional (ZONI) yang memiliki
fasilitas khusus di bidang perpajakan, infrastruktur, keamanan dan fiskal.
SUMBER
DAYA ALAM
Pertambangan
- Minyak bumi. Beberapa sumur minyak bumi yang telah dieksplorasi terdapat di Bekasi bagian utara. Salah satunya terdapat di Babelan, Gabus, Muaragembong, Cabangbungin dan Tambun. Produksi minyak mentah dari sumur minyak bumi di Tambun mencapai 6.126 barel per hari.[8]
- Gas alam. Gas alam terdapat di Bekasi bagian selatan. Sumur gas yang sudah berproduksi sejak tahun 2004 berjumlah enam buah. Sumur-sumur gas tersebut terdapat di Blok Jatirarangon yang meliputi wilayah Cikarang Selatan dan Cikarang Pusat. Cadangan gas alam di Blok Jatirarangon diperkirakan sebesar 56,7 miliar kaki kubik.[9] Selain itu sumur gas nomer 3 juga menghasilkan minyak bumi dengan debit 90 barel per hari.[10]
Pariwisata
Kabupaten
Bekasi memiliki beberapa objek wisata, di antaranya:
- Taman Buaya Indonesia Jaya [11]
- Waterboom Lippo Cikarang
- Gedung Juang Tambun
- Saung Ranggon di Desa Cikedokan
- Danau Cibeureum di dekat perumahan Grand Wisata
- Pantai Muara Beting
- Wisata Rumah Pohon di Jatiasih
- Hutan Kota di daerah Margahayu
- Danau Marakas, di Pondok Ungu
- Pantai Muara Bendera [12]
- Pantai Muara Gembong
- Bumi Perkemahan Karang Kitri [13]
Kota
Cikarang
Kota
Cikarang
adalah ibukota dari Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Indonesia. Kota Cikarang meliputi wilayah kecamatan
Cikarang Pusat, Cikarang Barat, Cikarang Timur, Cikarang Utara dan Cikarang
Selatan di Kabupaten Bekasi. Pusat pemerintahan Kabupaten Bekasi
berada di kecamatan Cikarang Pusat.
Makanan Khas
1. Sayur Gabus Pucung.
2. Sayur Asem Bekasi.
3. Kue Akar Kelapa.
4. Dodol Bekasi
5. Kue Dongkal.
6. Kue Jalabia alias Kue Cincin.
7. Kue Rangi.









Komentar
Posting Komentar